Pengadaan Air Bersih dengan Pompa Air Tenaga Surya di Banyumeneng, Gunung Kidul
Implementasi Pompa Air Tenaga Surya – Warga Desa Banyumeneng harus berjuang untuk mengambil air dengan berjalan sekitar 4 km/hari. Lebih dari itu, disamping cukup besar tenaga yang harus terkuras, kegiatan tersebut membutuhkan biaya yang sangat ekstra. Masyarakat disana menghabiskan setidaknya Rp 150.000,00 dari total pendapatan rata-rata mereka Rp 400.000,00 per bulan untuk membeli air. Tidak hanya dampak ekonomi yang harus ditanggung oleh masyarakat akibat kekeringan yang melanda daerah Gunung Kidul ini, tetapi juga dampak sosial berupa konflik horizontal akibat memperebutkan air untuk pertanian yang merupakan mata pencaharian utama warga Dusun Banyumeneng.
Daerah Banyumeneng Merupakan Kawasan Karst, Sehingga Tidak Memungkinkan Membuat Sumur.
Banyumeneng, nama dusun ini dalam bahasa Jawa berarti air yang diam. Dusun itu memang memilki mata air, namun selama berpuluh tahun tak semua warga bisa menikmati alirannya karena letaknya yang jauh dan berada di bawah tanah. Banyumeneng adalah salah satu daerah di kabupaten Gunung Kidul yang memiliki permasalahan pemenuhan kebutuhan air sehari-hari. Letak Geografis Pedukuhan banyumeneng termasuk desa terpencil daerah perbatasan dengan Kabupaten Bantul. Batuan dasar pembentuk tanah Banyumeneng adalah batu kapur yang membentuk kawasan karst. Pada wilayah ini banyak dijumpai sungai bawah tanah, sehingga tidak memungkinkan untuk pembuatan sumber air pribadi atau sumur. Saat musim hujan tiba, air hujan dapat ditampung dalam Penampungan Air Hujan (PAH) yang sangat sederhana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap air.
Ketika air dalam PAH mengering akibat musim kemarau, masyarakat setempat harus berjuang untuk mengambil air ke sumber sungai bawah tanah dengan berjalan sekitar 4 km/hari. Bukan hanya tenaga yang harus terkuras, tetapi juga kegiatan tersebut membutuhkan biaya yang sangat ekstra. Masyarakat disana menghabiskan setidaknya Rp 150.000,00 per bulan untuk membeli air. Sedangkan pendapatan mereka rata-rata hanya sekitar Rp 400.000,00 per bulan. Kekeringan yang melanda Gunung Kidul ini banyak membawa kerugian bagi masyarakat. Tidak hanya dampak ekonomi yang harus ditanggung oleh masyarakat, tetapi juga dampak sosial berupa konflik horizontal akibat memperebutkan air.
Hampir seluruh warga Dusun Banyumeneng menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian, walaupun kebanyakan dari mereka memiliki mata pencaharian lebih dari satu, seperti buruh bangunan, pedagang, karyawan, dan lain-lain. Pada musim hujan, panen terbesar didominasi padi, sedangkan pada musim kemarau seperti itu, mereka menanam tanaman yang tidak membutuhkan banyak air, seperti tembakau. Padi yang mereka panen di musim hujan harus mau bertahan hingga panen berikutnya, atau jika tidak, mereka harus membeli dari orang lain.
Karakter Daerah yang Berbukit Membuat Distribusi Air Kurang Maksimal dan Memerlukan Biaya yang Besar
Pihak desa pernah memasang pompa air diesel di mata air itu untuk dialirkan ke tiga dusun di sekitar mata air tersebut. Ketiga dusun itu adalah Dusun Banyumeneng I, Dusun Banyumeneng II, dan Dusun Banyumeneng III. Air dari bawah tanah dipompa ke atas untuk dialirkan ke tampungan air milik kelompok warga yang ada di dusun-dusun tersebut. Namun, air bersih kerap tidak berhasil dialirkan di Dusun Banyumeneng I dan Dusun Banyumeneng II.
Hal itu disebabkan jarak kedua dusun yang cukup jauh dan letaknya yang berada di dataran lebih tinggi. Selain itu, mesin diesel yang digunakan memompa air juga kerap bermasalah sehingga tidak menghasilkan cukup daya untuk mengangkut air. Jika itu terjadi, warga terpaksa mengambil air menggunakan jerigen langsung ke mata air tersebut. Kala itu, tidak mudah untuk mengambil air di tempat itu. Jalan yang dilalui cukup terjal, berupa pecahan-pecahan batu kapur yang tak rata. Jalanan menurunnya juga curam sehingga cukup membahayakan, apalagi jika mengendarai sepeda motor untuk mengambil air. Adapun lebar jalan hanya sekitar 2 meter.
Pada tahun 2000, dibangun sebuah sistem pompa air bertenaga diesel milik PDAM. Pada dasarnya, penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber energi pompa menjadi tantangan tersendiri dalam segi jarak pembelian bahan bakar yang jauh dan distribusi dengan medan yang sulit. Kemudian, muncul gagasan untuk menggunakan sistem pompa air tenaga surya sebagai solusi dari permasalahan kebutuhan air tersebut oleh salah satu organisasi, yaitu ENERBI (Energi Bersih Indonesia).
Implementasi Pompa Air Tenaga Surya Dipilih Karena Selain Ramah Lingkungan Juga Operasionalnya Murah
Pemilihan sumber energi matahari untuk pompa air merupakan pilihan paling rasional. Pembangunan sistem pompa air tenaga surya diawali dengan pembuatan sistem pengangkatan air dengan panel surya bertenaga 1200 Wp. Daya tersebut kemudian mampu mengaliri 30 KK di Dusun Banyumeneng I dengan debit rataan 5 m3/hari. Dengan kesuksesan program tahap I, dilakukan pengembangan tahap lanjutan dengan kapasitas Panel Surya 4000 Wp untuk dimanfaatkan 40 Kepala Keluarga. Hingga saat ini total terdapat 120 KK yang telah mendapatkan manfaat dari program ini.
Sebagai perusahaan yang bergerak dibidang energi terbarukan, Sanspower telah dipercaya untuk bekerjasama dengan ENERBI dengan melakukan Implementasi Sistem Pompa Air Tenaga Surya (PATS) di Padukuhan Banyumeneng. Sistem Pompa Air Tenaga Surya (PATS) memiliki prinsip kerja merubah sinar matahari menjadi sumber energi untuk penggerak pompa. Air dipompa dari sumber mata air menuju ke reservoir atau langsung ke tujuan. Sistem PATS dapat menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan air tanpa menggunakan bahan bakar atau listrik PLN. Selain itu, penggunaan energi matahari yang termasuk energi baru terbarukan dapat mengurangi dampak kerusakan lingkungan.
Baca Juga: